Asal Mula Danau Malawen
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di
Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah,
Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan
masyarakat setempat, danau yang di tepiannya
terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan
sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai
jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang
mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau.
Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu
berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti
dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
* * *
Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan
Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin.
Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa
saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh
tahun mereka berumah tangga, namun belum juga
dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut
sangat merindukan kehadiran seorang buah hati
belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk
itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon
kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut
dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang
suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri
bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua.
“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian
harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki
tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki
tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan
harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya
tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang
Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan
petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab
sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita
harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri
kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha.
Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab
suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya,
sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan
yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari
berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang
sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun
sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun
memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila
sambil memejamkan mata dan memusatkan
konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah
berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga
memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun
harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka
tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan
lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan
pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya,
Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran
mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar
sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan
kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua
menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian.
Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang
kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun
segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah
terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh
ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek
yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan
pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan
membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali
melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil
menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari
penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah
tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam
keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa
seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan
perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-
tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah
berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak
mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami
masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-
buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas.
Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah
sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati
istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak.
Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!”
ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap
sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun
melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian
diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan
bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang
selama ini mereka idam-idamkan telah mereka
dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan
Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah
mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah
atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti
kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta
bertutur sopan ke mana pun pergi.
wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung
cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan
untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun
tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan.
Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi
anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang
Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah
dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras.
Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk
menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu.
Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang
sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah
sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,”
sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu.
Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat
digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah
sambil memberikan sebuah piring kecil kepada
Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu
dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan
segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang
diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai
perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia
belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan.
Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan
perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut.
Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke
dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata
Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama
Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik
perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa
tersebut sedang diadakan upacara adat yang
diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan
masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan
menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan
oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan
para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada
wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas
panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri
Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak
berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si
Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung
dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang
Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan
yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah
berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di
rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya
Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang
tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak
menceritakan kepada orangtuanya perihal
kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan
gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang
Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena
teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan
kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan.
Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa
Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan
dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang
ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya.
Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada
Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih
menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-
masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa
Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari,
gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan
penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku
Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di
desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya
memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis
sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi
bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun
menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di
desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan
perasaannya kepada Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya
Kumbang Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya
sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi,
ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia
telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan.
Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena
juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak.
Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia
pun terpaksa menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang
Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung,
akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang
sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka
kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya.
Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang
Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk
menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya
agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar
anak orang kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin
orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut
ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus
menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu
dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh
menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat
kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi
Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam,
suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa
Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya
kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk
Kumbang Banaung.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan
orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman,
keduanya berjalan mengendap-endap ingin
meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah
berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang
meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata
salah seorang warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa
lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan
Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin
mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri.
Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat
menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa
pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas
terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba
teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia
pun segera mengambil piring pusaka itu dan
melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring
itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun
menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka
tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran
warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca
yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita.
Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun
disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur
bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar.
Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen
yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat
kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau.
Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama
Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan
menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon,
sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni
abadi Danau Malawen.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah
Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong
legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-
hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat keras
kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua.
Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung
dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti
nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan
pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor
buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat
keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat
merupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu:
kalau sifat keras kepala,
di situlah tempat beroleh bala
kalau bapa ibu engkau sanggah,
Tuhan murka, orang pun menyunggah..
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di
Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah,
Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan
masyarakat setempat, danau yang di tepiannya
terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan
sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai
jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang
mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau.
Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu
berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti
dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
* * *
Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan
Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin.
Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa
saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh
tahun mereka berumah tangga, namun belum juga
dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut
sangat merindukan kehadiran seorang buah hati
belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk
itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon
kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut
dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang
suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri
bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua.
“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian
harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki
tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki
tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan
harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya
tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang
Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan
petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab
sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita
harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri
kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha.
Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab
suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya,
sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan
yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari
berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang
sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun
sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun
memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila
sambil memejamkan mata dan memusatkan
konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah
berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga
memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun
harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka
tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan
lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan
pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya,
Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran
mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar
sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan
kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua
menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian.
Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang
kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun
segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah
terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh
ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek
yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan
pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan
membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali
melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil
menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari
penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah
tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam
keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa
seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan
perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-
tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah
berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak
mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami
masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-
buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas.
Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah
sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati
istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak.
Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!”
ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap
sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun
melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian
diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan
bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang
selama ini mereka idam-idamkan telah mereka
dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan
Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah
mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah
atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti
kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta
bertutur sopan ke mana pun pergi.
wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung
cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan
untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun
tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan.
Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi
anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang
Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah
dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras.
Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk
menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu.
Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang
sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah
sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,”
sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu.
Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat
digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah
sambil memberikan sebuah piring kecil kepada
Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu
dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan
segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang
diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai
perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia
belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan.
Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan
perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut.
Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke
dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata
Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama
Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik
perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa
tersebut sedang diadakan upacara adat yang
diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan
masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan
menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan
oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan
para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada
wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas
panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri
Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak
berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si
Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung
dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang
Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan
yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah
berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di
rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya
Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang
tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak
menceritakan kepada orangtuanya perihal
kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan
gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang
Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena
teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan
kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan.
Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa
Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan
dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang
ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya.
Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada
Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih
menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-
masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa
Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari,
gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan
penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku
Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di
desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya
memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis
sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi
bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun
menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di
desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan
perasaannya kepada Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya
Kumbang Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya
sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi,
ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia
telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan.
Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena
juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak.
Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia
pun terpaksa menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang
Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung,
akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang
sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka
kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya.
Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang
Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk
menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya
agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar
anak orang kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin
orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut
ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus
menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu
dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh
menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat
kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi
Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam,
suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa
Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya
kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk
Kumbang Banaung.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan
orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman,
keduanya berjalan mengendap-endap ingin
meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah
berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang
meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata
salah seorang warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa
lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan
Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin
mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri.
Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat
menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa
pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas
terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba
teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia
pun segera mengambil piring pusaka itu dan
melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring
itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun
menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka
tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran
warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca
yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita.
Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun
disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur
bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar.
Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen
yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat
kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau.
Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama
Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan
menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon,
sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni
abadi Danau Malawen.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah
Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong
legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-
hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat keras
kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua.
Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung
dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti
nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan
pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor
buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat
keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat
merupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu:
kalau sifat keras kepala,
di situlah tempat beroleh bala
kalau bapa ibu engkau sanggah,
Tuhan murka, orang pun menyunggah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar